Secara fitrah,
manusia mengakui sifat uluhiyah Allah, cinta kepada-Nya dan tidak
mempersekutukan sesuatu pun dengan-Nya. Namun setan dari kalangan jin dan
manusia saling bahu-membahu menghiasi berbagai penyimpangan dengan
hiasan-hiasan yang menipu sehingga memalingkan jiwa manusia dari fitrahnya yang
lurus itu. Tauhid adalah sesuatu yang sudah tertanam dalam fitrah seseorang,
sedangkan syirik adalah pengaruh dari luar yang masuk ke dalamnya. Allah ta’ala
berfirman yang artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus;
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. ar-Ruum: 30) Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Setiap anak dilahirkan di atas fitrah, lalu kedua
orang tuanyalah yang menjadikannya yahudi, nashrani ataupun majusi” (HR.
Bukhari 1319).
Oleh karena itu
manusia pada asalnya adalah bertauhid, dan Islam adalah agama yang diyakini
dari zaman Nabi Adam ‘alaihis salam sampai beberapa generasi setelah beliau.
Allah ‘azza wa jallaa berfirman yang artinya: “Manusia itu adalah umat yang
satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai
pemberi peringatan” (QS. al-Baqarah: 213).
Awal mula
kesyirikan dan penyimpangan dari akidah yang benar terjadi pada kaum Nabi Nuh
‘alaihis salam, ketika mereka bersikap melampaui batas terhadap orang-orang
shalih. Allah berfirman yang artinya: “Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali
kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali
kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwa’, yaghuts, ya’uq dan
nasr” (QS. Nuh: 23).
Imam Bukhari
rahimahullaah meriwayatkan dalam kitab Shahih beliau dari Ibnu ‘Abbas
radhiallahu’anhuma tentang asal berhala-berhala tersebut. Ibnu ‘Abbas berkata:
“Ini adalah nama-nama orang shalih dari kaum Nabi Nuh. Ketika orang-orang
shalih itu meninggal, setan membisikan kepada kaum orang-orang shalih ini untuk
membuat patung yang diberi nama dengan nama-nama mereka dan meletakkannya di
tempat-tempat yang biasa mereka gunakan untuk duduk-duduk. Hal ini pun
dikerjakan dan saat itu patung-patung tersebut belum disembah. Namun ketika
orang-orang yang membuat patung-patung ini mati dan ilmu semakin hilang,
patung-patung itu pun akhirnya disembah” (HR. Bukhari 4539).
Ibnul Qoyyim rahimahullaah
berkata: “Beberapa orang dari kalangan salaf berkata: “Ketika orang-orang
shalih dari kaum Nabi Nuh itu meninggal, orang-orang berdiam diri di
kubur-kubur mereka, kemudian membuat patung-patung untuk memperingati mereka.
Namun lama-kelamaan akhirnya orang-orang menyembah patung-patung itu”
(Ighatsatul Lahafan juz 1 hal. 115).
Oleh karena
itulah Nabi Nuh ‘alaihis salam diutus oleh Allah kepada kaumnya untuk
mengembalikan mereka kepada akidah yang lurus. Dengan demikian, beliau adalah
Rasul pertama yang Allah utus di muka bumi. Allah subhaanahu wa ta’ala
berfirman yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu
sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang
kemudiannya” (QS. an-Nisaa: 163).
Ibnu ‘Abbas
radhiallah ‘anhu berkata: “Masa antara Nabi Adam dan Nabi Nuh sekitar sepuluh
abad, dan orang-orang yang ada di masa itu seluruhnya berada di atas akidah
Islam”. Ibnul Qayyim mengatakan: “Ini adalah pendapat yang bisa dipastikan
kebenarannya, karena dalam bacaan ‘Ubay bin Ka’ab terhadap ayat ini, yaitu
surat al-Baqarah ayat 163, terdapat lafadz ‘fakhtalafuu fiih’ yang artinya
adalah “kemudian terjadi perselisihan diantara mereka”. Dan yang menguatkan
bacaan ini adalah firman Allah ta’ala dalam al-Quran surat Yunus ayat 19, yang
artinya: “Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih”. (Ighatsatul Lahafan hal 102 juz 1).
Maksud
perkataan Ibnul Qoyyim rahimahullah ini ialah, bahwasanya sebab diutusnya para
nabi adalah karena menyimpangnya manusia dari agama yang benar, yang
sesungguhnya telah menjadi keyakinan mereka sebelumnya. Sebagaimana hal ini
terjadi pada bangsa Arab setelah itu, di mana mereka berada di atas agama Nabi
Ibrahim ‘alaihis salam, sampai datang seorang yang bernama ‘Amr bin Luhay
al-Khuza’i, yang mengganti agama Ibrahim tersebut dengan membawa patung-patung
dalam bentuk-bentuk yang khusus ke tanah Arab dan negeri Hijaz. Kemudian
patung-patung itu menjadi sesembahan selain Allah, dan tersebarlah kesyirikan
di negeri yang suci ini dan sekitarnya, sampai Allah mengutus Nabi-Nya,
Muhammad shallallahu ‘alaih wa sallam, sebagai penutup para Nabi.
Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaih wa sallam menyerukan manusia untuk mentauhidkan Allah
subhaanahu wa ta’ala dan mengikuti agama Nabi Ibrahim. Beliau sungguh-sungguh
berjihad di jalan Allah ‘azza wa jallaa ini, sampai akhirnya akidah tauhid dan
agama Ibrahim itu kembali ke negeri Arab, dan patung-patung itu pun
dihancurkan. Lalu Allah menyempurnakan agama dan anugerah ini ke seluruh dunia. Keyakinan ini
terus di anut dimasa-masa terbaik, yaitu pada generasi pertama umat ini. Sampai
kebodohan tersebar dan ajaran-ajaran agama lain dimasukkan ke dalam agama Islam
pada masa-masa belakangan. Kesyirikan kembali merasuki banyak orang dari umat
ini dengan sebab para juru dakwah yang sesat dan pendirian bangunan di atas
kuburan dengan dalih memuliakan dan mencintai para wali dan orang-orang shaleh,
dibangunlah pusara-pusara di atas kubur mereka, dan akhirnya mereka dijadikan
berhala-berhala yang diibadahi dengan berbagai macam amalan taqarrub yang
seharusnya hanya dipersembahkan kepada Allah subhaanahu wa ta’ala, seperti doa,
istighatsah, menyembelih hewan kurban, bernazar, dan lain-lain. Namun demikian,
kesyirikan ini mereka namakan sebagai tawassul dan sebagai ungkapan rasa cinta
kepada para wali atau orang-orang shaleh. Mereka menyangka perkara-perkara ini
bukanlah bentuk peribadatan kepada para wali atau orang-orang shaleh tersebut.
Mereka lupa bahwa ini adalah perkataan orang-orang musyrik zaman dahulu: “Kami
tidak beribadah kepada mereka, (kami tidak berbuat ini) melainkan agar mereka bisa menjadikan kami
lebih dekat lagi kepada Allah”.
Kesyirikan-kesyirikan
yang terjadi dalam kehidupan manusia pada zaman dahulu dan sekarang adalah dalam
perkara ibadah, karena mayoritas mereka tetap meyakini sifat Rububiyah Allah
subhaanahu wa ta’ala. Allah ta’ala berfirman yang artinya: “Dan sebagian besar
dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan
Allah (dengan sembahan-sembahan lain)” (QS. Yusuf: 106).
Tidak ada yang
mengingkari keberadaan Allah kecuali segelintir orang saja, seperti Fir’aun,
orang-orang atheis, komunis, dan materialis yang ada di zaman ini. Pengingkaran
ini terjadi hanya karena kesombongan, sebab pada dasarnya batin dan lubuk hati
mereka meyakini keberadaan Allah subhaanahu wa ta’ala. Allah ta’ala berfirman
yang artinya: “Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan
(mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya” (QS. an-Naml: 14).
Akal mereka pun
dapat mengetahui bahwa setiap yang diciptakan pasti ada yang menciptakannya dan
setiap yang ada pasti ada yang mengadakannya. Keteraturan alam semesta yang
sangat berkesinambungan dan begitu mendetail ini juga mengantarkan akal manusia
pada keyakinan bahwa alam ini pasti diatur oleh satu pihak yang Maha Menguasai
segala sesuatu, Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Orang yang mengingkari hal
ini hanyalah orang yang telah kehilangan akal sehatnya atau orang sombong yang
telah membuang akalnya dan membodohi dirinya sendiri.
Sumber: Al Irsyad ilaa Shahihil I’tiqad & Kitab
Tauhid. Syaikh Shalih Fauzan; sunnah.or.id