Negara-bangsa apabila ingin bertahan dalam jaman globalisasi yang
tak terbendung ini mau tak mau harus juga merubah tatanan sosial politik, hukum
dan budayanya karena antara ekonomi dengan sosial politik, hukum dan budaya tak
dapat dipisahkan. Globalisasi yang tengah terjadi bukan saja globalisasi
ekonomi, tetapi Juga globalisasi nilai-nilai sosial potitik, hukum dan budaya.
Perubahan yang tengah melanda negara-negara bekas komunis seperti Rusia,
Yugoslavia, Polandia dan Cina, misalnya, bukanlah sekedar perubahan dari sistem
ekonomi negara yang terkendali ke sistem ekonomi pasar, tetapi justru perubahan
dalam sistern dan nilai-nilai sosial politik, hukum dan budaya.
Walaupun belum sepenuhnya berubah, tetapi proses perubahan inilah
yang tengah berlangsung secara menakjubkan. Hal yang sama terjadi pula pada
negara-negara yang disebut sebagai negara-negara sedang berkembang terutama di
Asia Timur dan Tenggara. Harus diakui bahwa hampir semua kawasan atau bagian
negara di Asia termasuk Indonesia telah menjadi bagian dari proses globalisasi
yang tengah terjadi dalam artian suka atau tidak suka, baik atau buruk tengah
mengalami ketegangan dan benturan ekonomi, sosial politik, hukum dan budaya
yang memperlemah tatanan dan nilai-nilai lama. Nilai-nilai dan tatanan baru mulai
menampakkan dirinya walaupun belum sepenuhnya diterima.
William Liddle, seorang pemerhati Indonesia mengatakan bahwa yang
dominan di Indonesia adalah apa yang disebutnya faham inbetweenness, suatu
faham yang setengah-setengah dalam artian tidak menganut ideologi liberal
dan tidak juga komunis, tidak sistem ekonomi pasar bebas dan tidak pula sistem
ekonomi komando. Ada baiknya mempertahankan faham ini dengan kecenderungan
untuk selalu memadukan sistem, pola pikiran dan nilai-nilai yang berlawanan
atau berbeda, misalnya adalah mengupayakan sintesa dari ideologi liberal dan
sosialis atau pandangan Barat dan pandangan Timur dalam kehidupan.
Kecenderungan ini nampaknya tetap kuat di dalam banyak bidang
ekonomi, politik, hukum dan budaya. Memang Indonesia sepertinya tidak mampu dan
tidak mau memilih suatu sistem secara utuh. Kita sepertinya dikendalikan oleh
rasa ketidakpastian tanpa akhir. Dalam bidang ekonomi, kita menyaksikan
kebijakan yang pada satu sisi sangat berpihak kepada liberalisasi ekonomi
tetapi pada sisi lainnya seperti rnenegasikan liberalisasi ekonomi. Berbagai
kebijakan yang memberikan lisensi khusus dengan berbagai fasilitasnya, yang
pada gilirannya melahirkan oligopoli dan monopoli. Sementara pada sisi lainnya
pemerintah mulai membatasi intervensi dalam kehidupan ekonomi seperti
pengurangan subsidi dan sebagainya.
Dalam bidang sosial budaya kita juga menemukan hal yang sama yaitu
terjadinya asimilasi budaya setengah hati. Kita sepertinya tidak sepenuhnya mau
menerima pengaruh budaya asing padahal pintu-pintu bandara kita sudah terbuka
lebar malah tanpa visa bagi beberapa wisatawan dari negara lain. Dari sisi
ekonomi jelas ada pemasukan negara yang cukup besar, tetapi adalah tidak
realistis menolak pengaruh budaya asing secara berlebihan dan menudingnya
sebagai perusak budaya nasional. Aturan yang memperbolehkan parabola dan siaran
satelit langsung menyerbu rumah-rumah kita secara bersamaan tentu masuk pula
nilai-nilai budaya asing. anehnya, tumbuh pula semacam sikap xenophobia
(ketakutan terhadap yang asing).
Inbetweenness, dapat juga kita maknai sebagai bentuk
kehati-hatian, memilah-milah yang baik dan membuang yang buruk. Penafsiran kita
tentang individu masyarakat sering dikaitkan orang dengan perbedaan kebudayaan
Timur dan kebudayaan Barat. Hal ini misalnya kita baca Barat dicirikan dengan
materialisme, rasionalisme dan individualisme, sedangkan Timur dengan faham
anti terhadap ketiga isme tersebut. Dalam kaitan dengan kehidupan rohani dan
spiritual, Timur mementingkan kehidupan rohani, mistik, sedangkan Barat tidak.
Perbedaan ini yang kemudian butuh kejelian kita dalam mengadopsi segala sesuatu
dari orang asing dalam era globalisasi.
Kekhasan khazanah budaya, di samping memberi isi kepada jati diri
budaya bangsa, juga merupakan milik yang dapat diposisikan sebagai keunggulan
komparatif dalam bidang industri budaya. Bangsa Indonesia dengan segala
potensinya pada sumber daya manusia maupun sumber daya budayanya justru perlu
dilestarikan untuk dapat menunggangi dan mengarahkan globalisasi. Kuncinya ada
pada dunia pendidikan, semoga para lulusan dari sistem pendidikan Indonesia
tidak menjadi penganut globalisme, yaitu menganggap nilai-nilai global yang
dipromosikan oleh negara-negara industri besar dunia sebagai satu-satunya
orientasi, dan dengan demikian menganggap kebudayaan bangsanya sendiri sebagai
ketinggalan zaman atau kampungan.
Pendidikan budaya bagsa berangkat dari pemahaman bahwa setiap
ekspresi kebudayaan memiliki nilai-nilai positifnya masing-masing dan tidak ada
superioritas satu budaya atas budaya lainnya. Karena bagaikan satu keping mata
uang dengan dua sisi yang berbeda, satu sisi globalisasi mengarahkan semua
orang untuk mengadopsi pola kebudayaan yang seragam. Pada sisi lainnya,
kecenderungan ini telah memicu munculnya resistansi dari budaya-budaya lokal
yang merasa eksistensinya terancam seiring gelombang penyeragaman ini.
Bagaimanapun, globalisasi tetap memberikan ruang toleransi
terhadap keragaman budaya. Toleransi tersebut dapat dijadikan modal sosial dan
tidak mengarah kepada proses saling mengeksklusi antara budaya satu dengan
budaya lainnya, akan tetapi menjelma menjadi modal utama bagi terciptanya
dialog dan kerja sama multikultural yang berkeadilan.