Segala puji serta syukur tercurahkan kepada
Allah Swt yang telah memperkuat keimanan serta ke-Islaman kita dan yang telah
memberi nikmat dalam bentuk apapun.
Pada siang ini, marilah kita lebih memperkuat
kembali kualitas keimanan kita khususnya kepada diri saya sendiri dan kepada
kita pada umumnya, dengan cara bertambah giat melaksanakan perintahnya dan
mejauhi segala larangannya. Dengan taqwa itulah yang akan kita jadikan modal
utama untuk menghadap Allah Swt untuk memperoleh kebahagiaan di akhirat kelak aamiin
ya rabbal alamin.
Akhina wa ukhtina rahimakumullah.
Dikisahkan di sejarah mengenai Negeri Syam
yang ditimpa wabah penyakit, ketika itu Umar bin Khattab r.a menjadwalkan
kunjungannya ke sana, namun tiba-tiba membatalkannya, maka ada seseorang yang
bertanya:
Wahai Umar r.a : “apakah anda menghindari dan lari dari taqdir Allah”.
Umar menjawab : "saya lari dari taqdir
yang satu menuju taqdir lainnya"
hal serupa juga pernah dialami oleh Khalifah
Ali r.a saat beliau bersandar di tembok yang sudah rapuh, kemudian beliau
berpindah ke tempat yang lain, beberapa orang disekelilingnya bertanya:
Wahai Ali r.a : “Apakah engkau menghindari
taqdir Allah”
Ali ra. Menjawab : “aku menghindari taqdir
yang satu dan menuju taqdir yang satunya lagi”
Dari hal tersebut kita semua meyakini, bahwa semua yang terjadi di muka bumi ini merupakan setting Allah Swt Yang Maha Kuasa, baik itu berupa anugerah maupun bencana, baik rahmat maupun itu berupa laknat. Karena Allah-lah pemegang kendali atas semua yang pernah dan yang terjadi di jagat raya ini. Atau menurut bahasa agama lebih populer dengan sebutan taqdir. Dari dua dialog singkat yang tadi memberikan gambaran pada kita semua bahwa, ada taqdir baik dan taqdir buruk.Dengan adanya takdir baik dan buruk tersebut, semoga menjadi jelas dalam nalar agama kita, bahwa tidak dibenarkan tawakkal tanpa ikhtiyar, menyerah tanpa berusaha, dalam hidup ini tidak ada hal-hal yang dapat menghalangi usaha manusia untuk berpindah dari taqdir yang satu menuju taqdir lainnya, dari taqdir buruk menuju taqdir yang lebih baik. Takdir adalah pendidikan kepada ajaran “sebuah pilihan nasib” bukan semata-mata ajaran “penyerahan tanpa usaha”. Di dalam Fathu-robbaniy Syeikh Abdul Qadir Jaelani mengatakan “meninggalkan usaha dan bergantung hidup dalam kekuasaan orang lain adalah siksa nyata untuk hamba Allah”.
Masih lekat sekali dengan ingatan kita, baru-baru
ini bahkan sampai sekarang terjadi banjir yang hingga mecapai pinggang orang
dewasa yang letaknya di Dayeuh Kolot jelasnya di daerah Kabupaten Bandung dan
longsor di Soreang tepatnya di daerah sungapan
Desa Sadu sampai-sampai media massa pun meliputnya yang disebabkan curah
hujan yang besar. Coba kita pikirkan apakah ini adalah bagian dari taqdir Allah
yang tidak bisa dihindari?! jika kita sepakat bahwa takdir adalah pilihan hidup
yakni pilihan hidup yang buruk bisa kepada taqdir yang baik, maka banjir pun
bisa dihindari, dengan cara kita berusaha memelihara keseimbangan alam,
memlihara tumbuhan, menjaga kebersihan dan semacamnya. Maka potensi untuk
banjir dan longsor pun dapat di hindari terkecuali memang sudah di tetapkan
oleh Allah, namun apa salahnya jika kita berusaha.
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُّصِيبَةٍ
فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوْا عَنْ كَثِيرٍ . (الشرى : ٣۰)
“Dan apa musibah yang menimpa kamu
maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan
sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)”.
Secara umum
manusia di beri kemampuan yang sangat istimewa untuk memilih takdir, takdir
yang dikehendaki dan takdir yang dapat dihindari. Ini merupakan perbedaan
takdir Allah yang berlaku terhadap benda-benda mati. Seperti takdir air adalah
membasahi, api ditakdirkan panas. Matahari tidak ditakdirkan tidak akan beredar
melalui batas orbit yang telah ditentukan oleh Allah, sebagaimana bulan,
bintang dan benda-benda lainnya. Semuanya adalah sunnatullah yang telah
dikehendaki sejak zaman azali. Namun pada dasarnya takdir kita semua telah
termaktub oleh Allah di al-Lauh al-Mahfuzh, sebagaimana firman-Nya,
"Tiada suatu bencana pun yang menimpa di
bumi dan tiada (pula suatu bencana) menimpa dirimu kecuali telah tertulis di
dalam kitab (al-Lauh al-Mahfuzh) sebelum kami menciptakannya” (Al-Hadiid: 22-23).