Dunia mendaulatnya sebagai 'Mahaguru Kedua' setelah Aristoteles.
Julukan itu disematkan kepada Abu Nasr Muhammad ibnu Al-Farakh Al-Farabi,
seorang pemikir besar Muslim pada abad pertengahan. Karena kiprah, jasa dan
dedikasinya sebagai seorang filsuf dan ilmuwan terbaik di zamannya, telah
membuat Al-Farabi didaulat sebagai guru kedua setelah pemikir besar Yunani kuno
tersebut. Filsuf Islam yang dikenal di dunia barat dengan nama Alpharabius itu
adalah sosok ilmuwan yang serba bisa. Tidak seperti ibnu Khaldun yang sempat
menulis autobiografi, Al-Farabi tidak menulis autobiografi dirinya. Tidak ada
pula muridnya yang mengabadikan latar belakang hidup sang legenda itu,
sebagaimana Al-Juzjani mencatat jejak perjalanan hidup gurunya, ibnu Sina. Tidak heran bila muncul beragam versi
mengenai asal-muasal Al-Farabi.
Ahli sejarah Arab pada abad pertengahan, ibnu Abi Osaybe'a,
menyebutkan bahwa ayah Al-Farabi berasal dari Persia. Muhammad ibnu Mahmud
Al-Sahruzi juga menyatakan Al-Farabi berasal dari sebuah keluarga Persia. Namun,
menurut ibnu An-Nadim, Al-Farabi berasal dari Faryab di Khurasan. Faryab adalah
nama sebuah provinsi di Afghanistan. Keterangan itu diperoleh oleh An-Nadim
dari temannya bernama Yahya ibnu Adi yang dikenal sebagai murid terdekat Al-Farabi.
Sejumlah ahli sejarah dari Barat, salah satunya Peter J King, juga menyatakan
Al-Farabi berasal dari Persia. Berbeda dengan pendapat para ahli di atas, ahli
sejarah abad pertengahan, ibnu Khallekan, mengklaim bahwa Al-Farabi lahir di
sebuah desa kecil bernama Wasij di dekat Farab (sekarang Otrar berada di
Kazakhstan). Konon, ayahnya berasal dari Turki. Menurut Encyclopedia
Britannica, Al-Farabi juga berasal dari Turki.
Al-Farabi lahir sekitar tahun 870 M. Ia menghabiskan masa kanak-kanaknya
di tanah Farab. Di kota yang didominasi pengikut mazhab Syafi'i itulah
Al-Farabi menempuh pendidikan dasarnya. Sejak belia dia sudah dikenal memiliki
otak yang cerdas. Ia juga memiliki bakat yang begitu besar untuk menguasai
hampir setiap subyek yang dipelajarinya. Setelah menyelesikan studi dasarnya,
Al-Farabi hijrah ke Bukhara untuk mempelajari ilmu fikih dan ilmu-ilmu lainnya.
Ketika itu, Bukhara merupakan ibukota dan pusat intelektual serta religius
Dinasti Samaniyah yang menganggap dirinya sebagai bangsa Persia. Saat itu, Bukhara dipimpin oleh Nashr ibnu
Ahmad (874-892). Pada masa itulah Al-Farabi mulai berkenalan dengan bahasa dan
budaya serta filsafat Persia. Di kota itu pula Al-Farabi muda mulai mengenal
dan mempelajari musik.
Pada masa pemerintahan Nashr ibnu Ahmad (874-892) Al-Farabi sempat
menjadi seorang qadhi (hakim). Setelah melepaskan jabatan tersebut, Al-Farabi
hijrah ke Merv untuk mendalami logika Aristotelian serta filsafat. Guru utama
filsafatnya adalah Yuhanna ibnu Hailan, seorang Kristen. Dari Ibnu Hailan-lah
Al-Farabi mulai bisa membaca teks-teks dasar logika Aristotelian, termasuk
Analitica Posteriora yang belum pernah dipelajari seorang Muslim pun
sebelumnya. Beberapa tahun sebelum kitab-kitab Aristoteles diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab, Al-Farabi telah menguasai bahasa Suriah dan Yunani. Pada 901
M, bersama sang guru, Al-Farabi memutuskan untuk hijrah ke Baghdad yang saat
itu menjadi kota metropolis intelektual pada abad pertengahan.
Pada masa pemerintahan Khalifah Al-Muktafi (902-908 M) dan awal
pemerintahan Khalifah Al-Muqtadir (908-932 M), Al-Farabi sempat pula pergi ke
Konstantinopel untuk memperdalam filsafat dan singgah di Harran.
Karya-karyanya
Pada tahun 910 M, Al-Farabi kembali ke Baghdad. Di Negeri 1001
Malam itu, dia terus mengembangkan ketertarikannya untuk menggali dan mempelajari
alam semesta dan manusia. Ketertarikannya pada dua hal itu membuatnya lebih
tekun untuk menggali filsafat kuno, terutama filsafat Plato dan Aristoteles.
Selain itu, dia juga menghabiskan waktunya untuk mengajar dan menulis.
Akhir tahun 942 M, Al-Farabi hijrah dari Baghdad ke Haleb (Aleppo)
karena situasi politik yang memburuk. Selama dua tahun tinggal di Aleppo, pada
siang hari, Al-Farabi bekerja sebagai penjaga kebun, sedangkan pada malam hari
dia membaca dan menulis karya-karya filsafat.
Al-Farabi sempat pula hijrah ke Mesir lalu kembali lagi ke Aleppo
pada 949 M. Ketika tinggal di Damaskus untuk yang kedua kalinya, Al-Farabi
mendapat perlindungan dari putra mahkota penguasa baru Suriah, Saif Al-Daulah. Saif
Al-Daulah sangat terkesan dengan Al-Farabi karena kemampuannya dalam bidang
filsafat, bakat musik, serta penguasaannya atas berbagai bahasa. Menurut banyak
sumber, Al-Farabi menguasai 70 macam bahasa dunia.
Semasa hidupnya, Al-Farabi telah menulis sejumlah buku tentang
logika, fisika, ilmu jiwa, metafisika, kimia, ilmu politik, musik, dan
lain-lain. Yang terpenting di antara karya-karyanya ialah “Agrad al-Kitab ma
Ba'da at-Tabi'ah” (Intisari Buku Metafisika), “Al-Jam'u Baina Ra'yai
al-Hakimaini” (Mempertemukan Dua Pendapat Filsuf: Plato dan Aristoteles), “Uyun
al-Masa'il” (Pokok-pokok persoalan), “Ara'u Ahl al-Madinah” (Pikiran-pikiran
Penduduk Kota), dan “Ihsa' al-Ulum” (Statistik Ilmu).
Kehidupan sufi yang dijalani Al-Farabi membuatnya tetap hidup
sederhana dengan pikiran dan waktu yang tetap tercurah untuk karir filsafatnya.
Ia tutup usia di Aleppo pada 970 M. Amir Saif Al-Daulah kemudian membawa
jenazahnya dan menguburkannya di Damaskus. Ia dimakamkan di pemakaman Bab
As-Saghir yang terletak di dekat makam Muawiyah, yang merupakan pendiri dinasti
Ummayah.
Pemikiran dan Filsafat Al-Farabi
Sosok dan pemikiran Al-Farabi hingga kini tetap menjadi perhatian
dunia. Dialah filsuf Islam pertama yang berhasil mempertalikan serta
menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam sehingga bisa
dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu.
Pemikirannya begitu berpengaruh besar terhadap dunia Barat. “Ilmu
logika Al-Farabi memiliki pengaruh yang besar bagi para pemikir Eropa,” ujar
Carra de Vaux. Tidak heran bila para intelektual merasa berutang budi kepada
Al-Farabi atas ilmu pengetahuan yang telah dihasilkannya. Pemikiran sang
mahaguru kedua itu juga begitu kental memengaruhi pikiran-pikiran Ibnu Sina dan
Ibnu Rusyd.
Filsafat Al-Farabi sebenarnya merupakan campuran antara filsafat
Aristoteles dan Neo-Platonisme. Ia menyintesiskan buah pikir dua pemikir besar,
yakni Plato dan Aristoteles. Untuk memahami pemikiran kedua filsuf Yunani itu,
Al-Farabi secara khusus membaca karya kedua pemikir besar Yunani itu, yakni “On
the Soul” sebanyak 200 kali dan “Physics” sampai 40 kali, dengan kecemerlangan
otaknya, Al-Farabi mampu melakukan terobosan untuk menggabungkan filsafat
Platonik dan Aristotelian dengan pengetahuan mengenai Alquran serta beragam
ilmu lainnya. Kemampuannya ini berkat jerih payahnya menimba ilmu pengetahuan
dari sejumlah guru yang mumpuni. Ia belajar filsafat Aristoteles dan logika
langsung dari seorang filsuf termasyhur, Abu Bishr Matta ibnu Yunus. Dalam
waktu yang tak terlalu lama, kecemerlangan pemikiran Al-Farabi mampu mengatasi
reputasi gurunya dalam bidang logika.