Apa itu wahabi?. Pertanyaan yang amat singkat, namun membutuhkan
jawaban yang cukup panjang, jawaban tersebut akan tersimpul dalam beberapa poin
berikut ini:
- Keadaan yang melatar belakangi munculnya tuduhan wahabi.
- Kepada siapa ditujukan tuduhan wahabi tersebut diarahkan?.
- Pokok-pokok landasan dakwah yang dicap sebagai wahabi.
- Bukti kebohongan tuduhan wahabi terhadap dakwah Ahlussunnah Wal Jama’ah.
- Ringkasan dan penutup.
Keadaan yang Melatar Belakangi Munculnya Tuduhan
Wahabi
Melihat gambaran sekilas tentang keadaan Jazirah Arab
serta negeri sekitarnya, kita akan tahu sebab munculnya tuduhan tersebut,
sekaligus kita akan mengerti apa yang melatarbelakanginya. Yang ingin kita
tinjau di sini adalah dari aspek politik dan keagamaan secara umum, aspek
aqidah secara khusus.
Dari segi aspek politik Jazirah Arab berada di bawah
kekuasaan yang terpecah-pecah, terlebih khusus daerah Nejd, perebutan kekuasaan
selalu terjadi di sepanjang waktu, sehingga hal tersebut sangat berdampak
negatif untuk kemajuan ekonomi dan pendidikan agama.
Para penguasa hidup dengan memungut upeti dari rakyat
jelata, jadi mereka sangat marah bila ada kekuatan atau dakwah yang dapat akan
menggoyang kekuasaan mereka, begitu pula dari kalangan para tokoh adat dan
agama yang biasa memungut iuran dari pengikut mereka, akan kehilangan objek
jika pengikut mereka mengerti tentang aqidah dan agama dengan benar, dari sini
mereka sangat hati-hati bila ada seseorang yang mencoba memberi pengertian
kepada umat tentang aqidah atau agama yang benar.
Dari segi aspek agama, pada abad (12 H / 17 M) keadaan
beragama umat Islam sudah sangat jauh menyimpang dari kemurnian Islam itu
sendiri, terutama dalam aspek aqidah, banyak sekali di sana sini
praktek-praktek syirik atau bid’ah, para ulama yang ada bukan berarti tidak
mengingkari hal tersebut, tapi usaha mereka hanya sebatas lingkungan mereka
saja dan tidak berpengaruh secara luas, atau hilang ditelan oleh arus gelombang
yang begitu kuat dari pihak yang menentang karena jumlah mereka yang begitu
banyak di samping pengaruh kuat dari tokoh-tokoh masyarakat yang mendukung
praktek-praktek syirik dan bid’ah tersebut demi kelanggengan pengaruh mereka
atau karena mencari kepentingan duniawi di belakang itu, sebagaimana keadaan
seperti ini masih kita saksikan di tengah-tengah sebagian umat Islam,
barangkali negara kita masih dalam proses ini, di mana aliran-aliran sesat
dijadikan segi batu loncatan untuk mencapai pengaruh politik.
Pada saat itu di Nejd sebagai tempat kelahiran sang
pengibar bendera tauhid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab sangat menonjol hal
tersebut. Disebutkan oleh penulis sejarah dan penulis biografi Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahab, bahwa di masa itu pengaruh keagamaan melemah di dalam tubuh
kaum muslimin sehingga tersebarlah berbagai bentuk maksiat, khurafat, syirik,
bid’ah, dan sebagainya. Karena ilmu agama mulai minim di kalangan kebanyakan
kaum muslimin, sehingga praktek-praktek syirik terjadi di sana sini seperti
meminta ke kuburan wali-wali, atau meminta ke batu-batu dan pepohonan dengan
memberikan sesajian, atau mempercayai dukun, tukang tenung dan peramal. Salah
satu daerah di Nejd, namanya kampung Jubailiyah di situ terdapat kuburan
sahabat Zaid bin Khaththab (saudara Umar bin Khaththab) yang syahid dalam
perperangan melawan Musailamah Al Kadzab, manusia berbondong-bondong ke sana
untuk meminta berkah, untuk meminta berbagai hajat, begitu pula di kampung
‘Uyainah terdapat pula sebuah pohon yang diagungkan, para manusia juga mencari
berkah ke situ, termasuk para kaum wanita yang belum juga mendapatkan pasangan
hidup meminta ke sana.
Adapun daerah Hijaz (Mekkah dan Madinah) sekalipun
tersebarnya ilmu dikarenakan keberadaan dua kota suci yang selalu dikunjungi
oleh para ulama dan penuntut ilmu. Di sini tersebar kebiasaan suka bersumpah
dengan selain Allah, menembok serta membangun kubah-kubah di atas kuburan serta
berdoa di sana untuk mendapatkan kebaikan atau untuk menolak mara bahaya dsb
(lihat pembahasan ini dalam kitab Raudhatul Afkar karangan Ibnu Qhanim). Begitu
pula halnya dengan negeri-negeri sekitar hijaz, apalagi negeri yang jauh dari
dua kota suci tersebut, ditambah lagi kurangnya ulama, tentu akan lebih
memprihatinkan lagi dari apa yang terjadi di Jazirah Arab.
Hal ini disebut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam
kitabnya al-Qawa’id Arba’: “Sesungguhnya kesyirikan pada zaman kita
sekarang melebihi kesyirikan umat yang lalu, kesyirikan umat yang lalu hanya
pada waktu senang saja, akan tetapi mereka ikhlas pada saat menghadapi bahaya,
sedangkan kesyirikan pada zaman kita senantiasa pada setiap waktu, baik di saat
aman apalagi saat mendapat bahaya.” Dalilnya firman Allah:
فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا
نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ
“Maka apabila mereka menaiki kapal, mereka berdoa
kepada Allah dengan mengikhlaskan agama padanya, maka tatkala Allah
menyelamatkan mereka sampai ke daratan, seketika mereka kembali berbuat
syirik.” (QS. al-Ankabut: 65)
Dalam ayat ini Allah terangkan bahwa mereka ketika
berada dalam ancaman bencana yaitu tenggelam dalam lautan, mereka berdoa hanya
semata kepada Allah dan melupakan berhala atau sesembahan mereka baik dari
orang sholeh, batu dan pepohonan, namun saat mereka telah selamat sampai di
daratan mereka kembali berbuat syirik. Tetapi pada zaman sekarang orang
melakukan syirik dalam setiap saat.
Dalam keadaan seperti di atas Allah membuka sebab
untuk kembalinya kaum muslimin kepada Agama yang benar, bersih dari kesyirikan
dan bid’ah.
Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Rasulullah
dalam sabdanya:
«إِنَّ اللهَ
يَبْعَثُ لِهَذِهِ الأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا
دِيْنَهَا
»
“Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini pada
setiap penghujung seratus tahun orang yang memperbaharui untuk umat ini
agamanya.” (HR. Abu Daud no.
4291, Al Hakim no. 8592)
Pada abad (12 H / 17 M) lahirlah seorang pembaharu di
negeri Nejd, yaitu: Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Dari Kabilah Bani Tamim.
Yang pernah mendapat pujian dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau: “Bahwa mereka (yaitu Bani Tamim)
adalah umatku yang terkuat dalam menentang Dajjal.” (HR. Bukhari no. 2405,
Muslim no. 2525)
Tepatnya tahun 1115 H di ‘Uyainah di salah satu
perkampungan daerah Riyadh. Beliau lahir dalam lingkungan keluarga ulama, kakek
dan bapak beliau merupakan ulama yang terkemuka di negeri Nejd, belum berumur
sepuluh tahun beliau telah hafal al-Qur’an, ia memulai pertualangan ilmunya
dari ayah kandungnya dan pamannya, dengan modal kecerdasan dan ditopang oleh
semangat yang tinggi beliau berpetualang ke berbagai daerah tetangga untuk
menuntut ilmu seperti daerah Basrah dan Hijaz, sebagaimana lazimnya kebiasaan
para ulama dahulu yang mana mereka membekali diri mereka dengan ilmu yang
matang sebelum turun ke medan dakwah.
Hal ini juga disebut oleh Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahab dalam kitabnya Ushul Tsalatsah: “Ketahuilah semoga Allah
merahmatimu, sesungguhnya wajib atas kita untuk mengenal empat masalah; pertama
Ilmu yaitu mengenal Allah, mengenal nabinya, mengenal agama Islam dengan
dalil-dalil”. Kemudian beliau sebutkan dalil tentang pentingnya ilmu sebelum
beramal dan berdakwah, beliau sebutkan ungkapan Imam Bukhari: “Bab berilmu
sebelum berbicara dan beramal, dalilnya firman Allah yang berbunyi:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ
وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ
“Ketahuilah sesungguhnya tiada yang berhak disembah
kecuali Allah dan minta ampunlah atas dosamu.” Maka dalam ayat ini Allah memulai
dengan perintah ilmu sebelum berbicara dan beramal.
Setelah beliau kembali dari pertualangan ilmu, beliau
mulai berdakwah di kampung Huraimilak di mana ayah kandung beliau menjadi Qadhi
(hakim). Selain berdakwah, beliau tetap menimba ilmu dari ayah beliau sendiri,
setelah ayah beliau meninggal tahun 1153, beliau semakin gencar mendakwahkan
tauhid, ternyata kondisi dan situasi di Huraimilak kurang menguntungkan untuk
dakwah, selanjut beliau berpindah ke ‘Uyainah, ternyata penguasa ‘Uyainah saat
itu memberikan dukungan dan bantuan untuk dakwah yang beliau bawa, namun
akhirnya penguasa ‘Uyainah mendapat tekanan dari berbagai pihak, akhirnya
beliau berpindah lagi dari ‘Uyainah ke Dir’iyah, ternyata masyarakat Dir’iyah
telah banyak mendengar tentang dakwah beliau melalui murid-murid beliau,
termasuk sebagian di antara murid beliau keluarga penguasa Dir’iyah, akhirnya
timbul inisiatif dari sebagian dari murid beliau untuk memberi tahu pemimpin
Dir’yah tentang kedatangan beliau, maka dengan rendah hati Muhammad bin Saud
sebagai pemimpin Dir’iyah waktu itu mendatangi tempat di mana Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahab menumpang, maka di situ terjalinlah perjanjian yang penuh
berkah bahwa di antara keduanya berjanji akan bekerja sama dalam menegakkan
agama Allah. Dengan mendengar adanya perjanjian tersebut mulailah musuh-musuh
Aqidah kebakaran jenggot, sehingga mereka berusaha dengan berbagai dalih untuk
menjatuhkan kekuasaan Muhammad bin Saud, dan menyiksa orang-orang yang pro
terhadap dakwah tauhid.
Kepada Siapa Dituduhkan Gelar Wahabi Tersebut
Karena hari demi hari dakwah tauhid semakin tersebar
mereka para musuh dakwah tidak mampu lagi untuk melawan dengan kekuatan, maka
mereka berpindah arah dengan memfitnah dan menyebarkan isu-isu bohong supaya
mendapat dukungan dari pihak lain untuk menghambat laju dakwah tauhid tersebut.
Diantar fitnah yang tersebar adalah sebutan wahabi untuk orang yang mengajak
kepada tauhid. Sebagaimana lazimnya setiap penyeru kepada kebenaran pasti akan
menghadapi berbagai tantangan dan onak duri dalam menelapaki perjalanan dakwah.
Sebagaimana telah dijelaskan pula oleh Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahab dalam kitab beliau Kasyfus Syubuhaat: “Ketahuilah
olehmu, bahwa sesungguhnya di antara hikmah Allah subhaanahu wa ta’ala,
tidak diutus seorang nabi pun dengan tauhid ini, melainkan Allah menjadikan
baginya musuh-musuh, sebagaimana firman Allah:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ
يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا
“Demikianlah Kami jadikan bagi setiap Nabi itu musuh
(yaitu) setan dari jenis manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada
bagian yang lain perkataan indah sebagai tipuan.” (QS. al-An-’am: 112)”
Bila kita membaca sejarah para nabi tidak seorang pun
di antara mereka yang tidak menghadapi tantangan dari kaumnya, bahkan di antara
mereka ada yang dibunuh, termasuk Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam
diusir dari tanah kelahirannya, beliau dituduh sebagai orang gila, sebagai
tukang sihir dan penyair, begitu pula pera ulama yang mengajak kepada ajarannya
dalam sepanjang masa. Ada yang dibunuh, dipenjarakan, disiksa, dan sebagainya.
Atau dituduh dengan tuduhan yang bukan-bukan untuk memojokkan mereka di hadapan
manusia, supaya orang lari dari kebenaran yang mereka serukan.
Hal ini pula yang dihadapi Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahab, sebagaimana yang beliau ungkapkan dalam lanjutan surat beliau kepada
penduduk Qashim: “Kemudian tidak tersembunyi lagi atas kalian, saya mendengar
bahwa surat Sulaiman bin Suhaim (seorang penentang dakwah tauhid) telah sampai
kepada kalian, lalu sebagian di antara kalian ada yang percaya terhadap
tuduhan-tuduhan bohong yang ia tulis, yang mana saya sendiri tidak pernah
mengucapkannya, bahkan tidak pernah terlintas dalam ingatanku, seperti
tuduhannya:
- Bahwa saya mengingkari kitab-kitab mazhab yang empat.
- Bahwa saya mengatakan bahwa manusia semenjak enam ratus tahun lalu sudah tidak lagi memiliki ilmu.
- Bahwa saya mengaku sebagai mujtahid.
- Bahwa saya mengatakan bahwa perbedaan pendapat antara ulama adalah bencana.
- Bahwa saya mengkafirkan orang yang bertawassul dengan orang-orang saleh (yang masih hidup -ed).
- Bahwa saya pernah berkata; jika saya mampu saya akan runtuhkan kubah yang ada di atas kuburan Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Bahwa saya pernah berkata, jika saya mampu saya akan ganti pancuran ka’bah dengan pancuran kayu.
- Bahwa saya mengharamkan ziarah kubur.
- Bahwa saya mengkafirkan orang bersumpah dengan selain Allah.
- Jawaban saya untuk tuduhan-tuduhan ini adalah: sesungguhnya ini semua adalah suatu kebohongan yang nyata. Lalu beliau tutup dengan firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا
أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman jika orang fasik
datang kepada kamu membawa sebuah berita maka telitilah, agar kalian tidak
mencela suatu kaum dengan kebodohan.” (QS. al-Hujuraat: 6) (baca jawaban untuk berbagai
tuduhan di atas dalam kitab-kitab berikut, 1. Mas’ud an-Nadawy, Muhammad bin
Abdul Wahab Muslih Mazlum, 2. Abdul Aziz Abdul Lathif, Da’awy
Munaawi-iin li Dakwah Muhammad bin Abdil Wahab, 3. Sholeh Fauzan, Min
A’laam Al Mujaddidiin, dan kitab lainnya).
Disampaikan dalam
tabligh Akbar 21 Juli 2005 di kota Jeddah, Saudi Arabia
Oleh: Ustadz DR. Ali
Musri SP *
Klik di sini untuk melihat artikel aslinya
oke jadi ngerti thanks
BalasHapus